Reproduction_Painting_United States_Cassatt, Mary 1844 - 1926_Mother Jeanne Nursing Her Baby http://www.topart168.com/pic/Reproduction_Painting%5CUnited%20States%5CCassatt,%20Mary%201844%20-%201926%5CMother%20Jeanne%20Nursing%20Her%20Baby.jpg |
Sudah tiga hari saya terserang demam tinggi. Namun otak ini seakan tak ingin henti menerawang dan menggali. Jari ini terasa gatal saat semenit saja tidak menggoreskan pena di atas kertas, merapalkan kemudian memindahkannya ke format word. Hal tersebut saya lakukan untuk mengusir kejenuhan di ruang perawatan. Terlebih saya teringat atas “tanggung jawab” saya yang belum sempat saya penuhi yakni dengan memberikan pandangan pribadi saya terhadap karya beberapa penulis yang di antaranya adalah Antologi Puisi Pengembaraan Debu karya Mas Hari Palguna.
Dalam suasana sakit, entah kenapa saya selalu teringat akan sosok almarhumah ibu saya, Ibunda. Saya selalu terkenang bagaimana cara beliau merawat saya terkhusus saat kondisi sakit seperti sekarang. Kemudian dalam kasmaran saya dengan kenangan tersebut, saya teringat akan dua puisi awal dari Pengembaraan Debu yang tersurat tentang “ibu”. Dua judul puisi tersebut adalah PILAR dan KASIH SAYANG IBU.
Meski tanggapan saya ini tidak bersifat secara keseluruhan dari suatu keutuhan bangunan Pengembaraan Debu, yang secara jujur tak sampai setengah saya mengembara ke dalamnya, namun saya akan mencoba berusaha memberikan tanggapan saya sesuai dengan suasana yang sedang menyelimuti saya kini.
Agar pembahasan ini menjadi lebih terang, maka terlebih dahulu
saya meminta izin melalui tulisan ini untuk mengutip kedua puisi miliknya
tersebut.
PILAR
Pasti, Tuhan berikan kasih yang adil
yang kamu lupakan
Ibu,
Karena aku milik Tuhan, bukan milik ibu
Lihatlah, sajak lahir dengan sempurna
Ia milik Tuhan, bukan milik aku
karena anak dan sajak adalah nilai Tuhan
Tuhan tempat sajak dan aku
KASIH SAYANG IBU
Entah sejak kapan, pagi tadi
Seekor anak kucing minta diselamatkan
dari kematian
Hati ini tergetar, dan
saat aku menyelamatkannya
ia marah, lalu aku biarkan ia berjalan gontai
kemudian ia terdiam, "adakah masih khawatir"
kemudian ia menangis yang keras terdengar
lalu induknya datang mendekat, mendekap dan memberikan
air susunya dengan kasih yang hebat
Pastilah anak kucing itu diselamatkan
Palguna, Hari. 2012. Pengembaraan Debu. Yogyakarta: Madah
Pada puisi pertama, yakni PILAR, ibu tidak diposisikan sebagai
“tokoh utama” tetapi sebagai “pengukuh” yang mampu menguatkan pesan pada puisi
tersebut dimana tokoh utamanya adalah “aku” yang setia dengan "Tuhan". Pada baris pertama, kesan yang
saya tangkap adalah ketidakraguan dimana “Pasti” bertindak sebagai penguat dan
penegas, sebuah keyakinan atas “peringatan” pada baris kedua untuk sosok “Ibu”
–baris ketiga. Ini yang menarik dan mengundang pertanyaan saya. Bukan tentang
mengapa “Ibu” diingatkan, akan tetapi tentang mengapa “Ibu” berdiri sendiri
tanpa ada kata yang mendampingi. Tapi menurut saya, entah disengaja atau tidak,
komposisi itu terasa pas. “Ibu” bertindak tunggal, berdiri sendiri dan menggunakan
huruf awal kapital. Saya menangkap “Ibu” bertindak sebagai “ibu kandung” dari
penulis. Hal ini berbeda pada “ibu” yang berada pada baris ke-empat,
yang menurut saya bertindak sebagai majemuk –tidak seperti baris sebelumnya
yang berhuruf awal kapital.
Ada kesan penulis mencoba “menyerupakan” peran “Ibu” dan “aku”
serta juga posisi “sajak” dan anak. Anak adalah yang terlahir dari rahim ibu.
Dan “sajak” terlahir dari rahim “aku”. Namun masih sering manusia
menganggap bahwa apa yang berasal dari usahanya adalah miliknya. Masih sering
ibu menganggap anak adalah penuh miliknya. Itu mungkin pesan yang ingin penulis
sampaikan pada PILAR, bahwasanya “aku” (anak) bukan milik “Ibu” dan “sajak”
bukan milik “aku” tapi adalah semata milik Tuhan.
Kemudian tentang KASIH SAYANG IBU. Pada baris pertama, penulis
sudah mencoba menghadirkan ambigu bagi pembacanya, dengan menyandingkan diksi
kemungkinan dan keterangan waktu –“Entah” dengan “tadi pagi.” Ini menarik bagi
saya, karena terasa sekali penulis berusaha menarik pembaca untuk turut ke
dalam puisi. Saya membayangkan bahwa saya adalah anak kucing yang “minta
diselamatkan dari kematian” itu. Kematian yang bisa disebabkan oleh banyak hal,
entah kehausan, kelaparan, dingin atau juga kesepian. Dan tak ada yang mampu
menyelamatkan sehebat dan sebaik “induk sendiri”, bahkan tidak juga
“aku”. Tak ada imun terhebat yang sebanding dengan “ASI”. Tak ada selimut
terhangat selain dekapan ibu. Dan ketika itu diberikan kepada anak, niscaya itu
telah cukup menyelamatkan.
Demikianlah pengembaraan singkat saya pada dua puisi awal dari
Pengembaraan Debu. Dua puisi yang mengembalikan kenanganku akan sosok ibu.
Meski pada saat sakit seperti sekarang ini tak ada ibu yang menyelamatkan aku
dari kematian, tapi pasti, Tuhan berikan kasih yang adil kepadaku. Karena aku
milik Tuhan.
Pemadat Seni
Bandung, 16 Februari
2013
Share
1 komentar:
Mas Bayu Ambuari, anda tidak sekedar memberi tanggapan terhadap dua puisi tersebut di atas tetapi anda telah membedah catatan tentang ibu di hati saya. Ma'af saya menangis sekarang. Oke, tidak perlu aku lanjutkan tulisan ini.
Semoga cepat sembuh ya mas, semoga kita dapat berbagai untuk waktu selanjutnya. Amien.
Posting Komentar