Sabtu, 16 Maret 2013

TANGGAPAN UNTUK PUISI GEMINTANG HALIMATUSSA'DIAH

Ilustrasi : Wind Blow
judikruis.files.wordpress.com

DIA DALAM SEBENTUK RINDU

Ingin kusemai rindu
Bersama desaudesau angin
Yang membisikkan hasrat penuh candu
Tentang ciptaan-Nya
Yang selalu tampak indah di mataku
Tentang lengkungan seelok pelangi
Yang selalu warnai harihariku


Dia…
Tak selalu sempurna
Namun selalu terasa indah
Dia..
Tak sentiasa bermahkotakan sutera
Tapi ia penyemat suka dalam lara
Pengobat duka lewat canda
Dia..
Tak selalu ada
Namun selalu terasa
Bak ronggarongga udara
Yang meninggalkan jejak tanpa tanda

Dia..
Aku..
Bisakah kami
Mereguk indahnya cinta?

Depok, 19 Februari 2013

***

Pertama kali saya membaca puisi di atas, yang tentu saja dimulai dari membaca judulnya, tadinya saya berharap mendapatkan sesuatu yang “lebih” dikarenakan berdasar pengetahuan saya, saya mengenal penulis adalah seseorang yang produktif dalam berkarya sehingga pantas mendapatkan apresiasi dari karya-karyanya tersebut, terutama dalam hal menulis cerpen.

Akan tetapi jujur, ada sedikit rasa “kekecewaan” setelah selesai membacanya. Bukan kekecewaan terhadap isi atau secara keseluruhan puisi ini, akan tetapi terhadap harapan saya yang ingin mendapatkan sesuatu yang “lebih” dari puisinya ini. Hal ini akan saya paparkan dalam baris-baris tanggapan pribadi saya selanjutnya.

Puisi ini kental dengan sisi kelembutan. Mungkin sebab penulisnya adalah seorang wanita. Diksi-diksi yang digunakan sederhana, halus dan tidak rumit.

Pada bait pertama, terutama pada baris kesatu dan kedua, timbul pertanyaan yang mengemuka dalam benak saya. Apakah "aku" bermaksud ingin menganalogikan “rindu” dengan “angin” karena rindu memang sesuatu yang belai kehadirannya dapat dirasakan namun wujud aslinya tak tampak pada pandangan. Ya, rindu ibarat angin. Atau justru "aku" ingin meminta bantuan kepada “desaudesau angin” agar mau menyemai rindu bersama-sama. Akan tetapi jika dilihat pada kata yang menyertai sebelumnya, pada baris kedua terdapat kata “bersama” sehingga tentu tidak dapat dikatakan menganalogikan “rindu” dengan “angin”

Masih pada bait pertama, terasa sekali penekanan peran untuk “desaudesau angin” karena merekalah, bersama dengan “aku", menyemai rindu. “Desaudesau angin” berperan “membisikkan hasrat penuh candu” kepada “aku” tentang “ciptaan-Nya” sehingga mampu terlihat indah dan mewarnai hari-hari “aku”.

Pada bait-bait sisa dari puisi ini, bagi saya pribadi sudah tidak lagi menyimpan misteri dan pertanyaan. Sudah tak lagi ada ambigu. Terjawab sudah bagi saya kemana arah puisi ini akan berhembus dan mengalir pada satu muara yakni “Dia” Hal ini diperkuat bukan hanya melalui judul yang digunakan, tetapi juga “bersama” yang mengarahkan bahwasanya “rindu” bukanlah udara. Tetapi “desaudesau angin” yang membantu “aku” juga pada kata “ciptaan-Nya” yang berarti tunggal, satu sosok yakni “Dia”

Saya pribadi menyayangkan hal ini, terutama tentang pemilihan judul. Karena dengan demikian, sejak langkah pertama masuk lewat pintu (judul puisi) kemudian duduk di ruang tamu (bait pertama) sudah tak ada lagi yang perlu saya ketahui tentang ruang-ruang berikutnya. Karena semua sudah jelas tampak bagi saya.

Namun kesimpulan saya ini juga tak lepas dari unsur subyektifitas yang dimiliki penulis, sehingga bisa saja kesimpulan saya keliru. Dan tentang tanggapan saya yang menuliskan bahwasanya saya tak “tertarik” untuk mencari tahu ruang-ruang lain, hal ini pun tak bisa lepas dari unsur relatif rasa dan selera yang dimiliki bagi masing-masing pembaca yang tentunya berbeda-beda.

Ada pembaca yang menyukai puisi yang diselimuti oleh diksi misterius dan penuh tanya serta ambigu dan metafor yang luas, sehingga memasukinya bagaikan menelusuri sebuah labirin. Ada juga pembaca yang tak mau dibuat pusing yang hanya menginginkan sebuah puisi sesederhana mungkin dan dapat mudah serta cepat dimengerti sehingga dia tak tersesat saat berada di dalamnya. Dan saya pribadi lebih menyukai hal yang pertama. Karena bagi saya disitulah letak nikmatnya berpuisi dan membaca puisi.

Jika saja penulis memberikan kesempatan kepada saya untuk lebih lama bercumbu dengan puisi ini, tentu itu merupakan sesuatu yang membuat saya betah berada pada keutuhan bangunan puisi ini. Meski tetap kembali lagi bahwa subyektifitas dan juga selera pembaca yang sifatnya relatif.

Salam sukses untuk penulis. Terima kasih sebelum dan sesudahnya dan maaf lahir batin.

Matin Aqila Al Fattah
pena utusan tinta

Share

0 komentar:

Posting Komentar

Akar Akal. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts