Ketika pertama kali saya membaca
tulisan "The Solomon Temple" yang tertera pada sampul novel maka seketika itu
pula pikiran saya mengarah pada sebuah tema yang luas, lintas agama (Yahudi,
Nasrani dan Islam). Dan kata tambahan ‘Memburu Dua Pusaka Illuminati’ telah “mempersempit” ruang lingkup pembahasan
yang akan dibahas dalam novel ini. Seketika itu pula saya menilai bahwasanya akan ada
referensi sejarah, baik itu sejarah agama, arkeologi dan bidang-bidang yang
berhubungan dengan cerita. Akan ada “aksi-aksi” intelejen di dalamnya. Dan
seketika pula saya meyakinkan diri bahwasanya “inilah genre saya.” Yang
kemudian setelah membacanya, harapan dan keyakinan awal saya tersebut tidaklah
keliru.
Bagian Prolog adalah chapter yang paling saya suka. Di mana
pada bagian ini dengan mudah dan cepat saya dapat mengambil kesimpulan awal
tentang gaya bahasa serta gaya penulisan dan story telling yang akan digunakan pada chapter-chapter berikutnya. Gaya bahasa dan penyampaian cerita bersifat
padat, straight to the point namun cukup rinci. Pembaca novel-novel terjemahan mungkin tak akan lagi asing dengan gaya
seperti ini. Prolog juga menununjukkan beberapa detail kunci yang nantinya akan
ditemukan jawaban dan penjambarannya pada chapter-chapter
berikutnya.
Ada hal yang mampu
mengecoh saya, tentang tokoh yang terhempas dan terluka akibat peristiwa
penambakan yang dialami sebelumnya –Profesor Syibil Balqish, yang pada mulanya
saya pikir adalah seorang pria. Dan sedikit penggalan paragraf yang akan coba
saya tulis berikut ini adalah bagian yang paling saya sukai dari keseluruhan
novel The Solomon Temple, yang mungkin juga menjadi salah satu pesan yang ingin
disampaikan oleh penulis –Zhaenal Fanani: “Prospek
kematian menjadi motivasi menakjubkan yang mampu menggugah setiap inci sel
dalam tubuh untuk mencari alternatif. Bahkan ketika tubuh dalam kondisi mati
rasa dan tak berdaya sekalipun.”
Ada hal yang patut diacungkan jempol, yakni tentang dua tokoh; Arioch dan
Profesor Syibil Balqish. Jika disimak dari awal hingga akhir, berdasarkan
detail dan deskripsi pada isi novel, saya beranggapan bahwasanya Arioch adalah
tokoh utama dan Profesor Syibil Balqish
adalah tokoh “pembantu”. Ketika umumnya tokoh utama adalah seseorang yang
dideskripsikan dengan watak yang nyaris sempurna bak pahlawan dan manusia
pujaan, penulis justru menempatkan tokoh antagonis sebagai tokoh utama dan
Profesor Syibil Balqish sebagai “tokoh pembantu” tetapi tetap tidak kehilangan
peran pentingnya –sebagai sosok kunci.
Satu hal yang membuat saya kecewa
adalah tentang dua chapter akhir yang
menurut saya mungkin tidak perlu ada atau seandainya jika boleh tidak menjadi seperti itu.
Karena bagi saya kedua chapter itu telah kehilangan aura sebab tak ada lagi penasaran
atau misteri yang harus saya ungkap –tentang asal-usul Arioch, Aron Wanger,
Colan Clavis yang sebenarnya telah dengan mudah dapat diterka pada chapter 22.
Akhir kata, novel ini adalah
novel yang menarik, unik dan terdapat beberapa hal yang mampu dijadikan sebagai
referensi –utamanya bagi para penyuka genre konspirasi bertema Illuminati dan
atau Freemason. Saya sangat mengapresiasi novel ini dengan segala kelebihan dan
kekurangannya.
Bayu Ambuari, Penikmat Seni dan Budaya
Share
0 komentar:
Posting Komentar