Selasa, 17 September 2013

Sedekah Utama



Kasihku, lihatlah tulang rahang yang menyangga kedua sisi pipiku, masih kuat bagai batu sehingga mampu memecah kacang hingga jagung, melembutkan gandum hingga tepung bahkan mengoyak daging ternak dari mamalia juga ungas ayam hingga burung. Tetapi rembang ini aku sedang sengaja tidak makan dan minum.

Kasihku, dengarlah suara yang masih lantang menggema, belum gemetar melemah terbata seperti bocah yang mengeja sebait prosa. Dan tulang belulang belum ada yang retak atau bahkan patah, masih kokoh selayak lelaki megalithikum berjari morton yang memecah batu dari gunung ke gunung hanya dengan mengenakan selembar bekas kulit hewan korban buruan sementara kejam dingin masih menghembuskan beku mendendam. Tetapi siang ini aku memilih lebih banyak diam. Tiada berteriak hoa ketika memecah belah angkuhnya batu. Bertasbih lirih sebagai ganti, sebab semenjak lepas subuh hingga senja mendekap matahari nanti, aku menahan diri.

Share

Menuju Senja




/1/
jam pasir dalam nadiku
bergemuruh: usia merapuh

/2/
gerak tubuh kian lambat
pulang semakin dekat

/3/
berlalu angka pada almanak
waktu terus beranjak

/4/
matahariku mendekat ke ufuk barat:
hidup menyenja

Bekasi, 2013

*Dikutip dari buku antologoi Lembayung Senja (AE Publishing, 2013), halaman 110
*Ilustrasi Gambar: Dark Surrealism, indecentbazaar.files.wordpress Share

Obituari


1
Bermukim aku pada suatu desa
seribu meter tingginya di atas samudra

Gigil lima belas derajat terasa
tak berarti seketika
di ibu kota; maut
menyambangimu dekat subuh

Ingin aku tak percaya
atas sebuah peristiwa

Sebab belakangan desas-desus
dan pergunjingan menjadi sajian
berita membuat pekak telinga

2
Di sepertiga malam
menjelang pengujung bulan
senyampang gerhana menjadi gebar
menutupi purnama  tak sempurna
yang menjungkar

Awan gemawan murung
memayungi sebagian dari kami
yang menyelam di bawah sadar sendiri

Angin dari gunung menyapu
barisan batang mengkilat manglid
menyayat tajuk
puluhan suren yang berbisik
kepada pucuk-pucuk teh

Alam menyampaikan kabar
menombak hati; pecah duka meluka

3
: seratus malam yang lewat
ketika pergantian terang menuju gelap
sekujur tubuh gemetar lain tak biasa
serasa seribu ketakutan menyerbu


: empat puluh hari sebelum kini, lepas ashar
bidara gugurkan sepucuk daunnya
tak lama lagi tutuplah catatan
bersama serombongan renyut yang memeriahkan bilik-bilik jantung

: kemarin, menjelang senja
kedutan pada dahi yang menghitam
getar pula mercu kepala

: malam buta
“Telah tiba saatnya; rangkumlah segala tanda”


Bandung, 2 Mei 2013
Persembahanku untuk Jeffry Al Buchori

*Dikutip dari buku antologi Lembayung Senja (AE Publishing, 2013), halaman 101-103
*Gambar Ilustrasi: A Farewell Adolescene 1939edwinglucas.com
Share
Akar Akal. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts