Sabtu, 16 Februari 2013

UNTUK IBUNDA: Tanggapan Saya atas Dua Puisi Karya Hari Palguna

Reproduction_Painting_United States_Cassatt, Mary 1844 - 1926_Mother Jeanne Nursing Her Baby
http://www.topart168.com/pic/Reproduction_Painting%5CUnited%20States%5CCassatt,%20Mary%201844%20-%201926%5CMother%20Jeanne%20Nursing%20Her%20Baby.jpg




Sudah tiga hari saya terserang demam tinggi. Namun otak ini seakan tak ingin henti menerawang dan menggali. Jari ini terasa gatal saat semenit saja tidak menggoreskan pena di atas kertas, merapalkan kemudian memindahkannya ke format word. Hal tersebut saya lakukan untuk mengusir kejenuhan di ruang perawatan. Terlebih saya teringat atas “tanggung jawab” saya yang belum sempat saya penuhi yakni dengan memberikan pandangan pribadi saya terhadap karya beberapa penulis  yang di antaranya adalah Antologi Puisi Pengembaraan Debu  karya Mas Hari Palguna.


Dalam suasana sakit, entah kenapa saya selalu teringat akan sosok almarhumah ibu saya, Ibunda. Saya selalu terkenang bagaimana cara beliau merawat saya terkhusus saat kondisi sakit seperti sekarang. Kemudian dalam kasmaran saya dengan kenangan tersebut, saya teringat akan dua puisi awal dari Pengembaraan Debu yang tersurat tentang “ibu”. Dua judul puisi tersebut adalah PILAR dan KASIH SAYANG IBU.

Meski tanggapan saya ini tidak bersifat secara keseluruhan  dari suatu keutuhan bangunan Pengembaraan Debu, yang secara jujur  tak sampai setengah saya mengembara ke dalamnya, namun saya akan mencoba berusaha memberikan tanggapan saya sesuai dengan suasana yang sedang menyelimuti saya kini.

Agar pembahasan ini menjadi lebih terang, maka terlebih dahulu saya meminta izin melalui tulisan ini untuk mengutip kedua puisi miliknya tersebut.


PILAR

Pasti, Tuhan berikan kasih yang adil
yang kamu lupakan
Ibu,
Karena aku milik Tuhan, bukan milik ibu
Lihatlah, sajak lahir dengan sempurna
Ia milik Tuhan, bukan milik aku
karena anak dan sajak adalah nilai Tuhan
Tuhan tempat sajak dan aku


KASIH SAYANG IBU

Entah sejak kapan, pagi tadi
Seekor anak kucing minta diselamatkan
dari kematian
Hati ini tergetar, dan
saat aku menyelamatkannya
ia marah, lalu aku biarkan ia berjalan gontai
kemudian ia terdiam, "adakah masih khawatir"
kemudian ia menangis yang keras terdengar
lalu induknya datang mendekat, mendekap dan memberikan
air susunya dengan kasih yang hebat
Pastilah anak kucing itu diselamatkan

Palguna, Hari. 2012. Pengembaraan Debu. Yogyakarta: Madah


Pada puisi pertama, yakni PILAR, ibu tidak diposisikan sebagai “tokoh utama” tetapi sebagai “pengukuh” yang mampu menguatkan pesan pada puisi tersebut dimana tokoh utamanya adalah “aku” yang setia dengan "Tuhan". Pada baris pertama, kesan yang saya tangkap adalah ketidakraguan dimana “Pasti” bertindak sebagai penguat dan penegas, sebuah keyakinan atas “peringatan” pada baris kedua untuk sosok “Ibu” –baris ketiga. Ini yang menarik dan mengundang pertanyaan saya. Bukan tentang mengapa “Ibu” diingatkan, akan tetapi tentang mengapa “Ibu” berdiri sendiri tanpa ada kata yang mendampingi. Tapi menurut saya, entah disengaja atau tidak, komposisi itu terasa pas. “Ibu” bertindak tunggal, berdiri sendiri dan menggunakan huruf awal kapital. Saya menangkap “Ibu” bertindak sebagai “ibu kandung” dari penulis. Hal ini berbeda pada  “ibu” yang berada pada baris ke-empat, yang menurut saya bertindak sebagai majemuk –tidak seperti baris sebelumnya yang berhuruf awal kapital.

Ada kesan penulis mencoba “menyerupakan” peran “Ibu” dan “aku” serta juga posisi “sajak” dan anak. Anak adalah yang terlahir dari rahim ibu. Dan “sajak” terlahir dari rahim “aku”.  Namun masih sering manusia menganggap bahwa apa yang berasal dari usahanya adalah miliknya. Masih sering ibu menganggap anak adalah penuh miliknya. Itu mungkin pesan yang ingin penulis sampaikan pada PILAR, bahwasanya “aku” (anak) bukan milik “Ibu” dan “sajak” bukan milik “aku” tapi adalah semata milik Tuhan.

Kemudian tentang KASIH SAYANG IBU. Pada baris pertama, penulis sudah mencoba menghadirkan ambigu bagi pembacanya, dengan menyandingkan diksi kemungkinan dan keterangan waktu –“Entah” dengan “tadi pagi.” Ini menarik bagi saya, karena terasa sekali penulis berusaha menarik pembaca untuk turut ke dalam puisi. Saya membayangkan bahwa saya adalah anak kucing yang “minta diselamatkan dari kematian” itu. Kematian yang bisa disebabkan oleh banyak hal, entah kehausan, kelaparan, dingin atau juga kesepian. Dan tak ada yang mampu menyelamatkan sehebat dan sebaik  “induk sendiri”, bahkan tidak juga “aku”. Tak ada imun terhebat yang sebanding dengan “ASI”. Tak ada selimut terhangat selain dekapan ibu. Dan ketika itu diberikan kepada anak, niscaya itu telah cukup menyelamatkan.

Demikianlah pengembaraan singkat saya pada dua puisi awal dari Pengembaraan Debu. Dua puisi yang mengembalikan kenanganku akan sosok ibu. Meski pada saat sakit seperti sekarang ini tak ada ibu yang menyelamatkan aku dari kematian, tapi pasti, Tuhan berikan kasih yang adil kepadaku. Karena aku milik Tuhan.

Pemadat Seni

Bandung, 16 Februari 2013

Share

1 komentar:

mata hari mata hati mengatakan...

Mas Bayu Ambuari, anda tidak sekedar memberi tanggapan terhadap dua puisi tersebut di atas tetapi anda telah membedah catatan tentang ibu di hati saya. Ma'af saya menangis sekarang. Oke, tidak perlu aku lanjutkan tulisan ini.
Semoga cepat sembuh ya mas, semoga kita dapat berbagai untuk waktu selanjutnya. Amien.

Posting Komentar

Akar Akal. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts