Kasihku, lihatlah tulang rahang yang menyangga kedua sisi pipiku, masih kuat bagai batu sehingga mampu memecah kacang hingga jagung, melembutkan gandum hingga tepung bahkan mengoyak daging ternak dari mamalia juga ungas ayam hingga burung. Tetapi rembang ini aku sedang sengaja tidak makan dan minum.
Kasihku, dengarlah suara yang masih
lantang menggema, belum gemetar melemah terbata seperti bocah yang mengeja sebait
prosa. Dan tulang belulang belum ada yang retak atau bahkan patah, masih kokoh
selayak lelaki megalithikum berjari morton yang memecah batu dari gunung ke
gunung hanya dengan mengenakan selembar bekas kulit hewan korban buruan sementara
kejam dingin masih menghembuskan beku mendendam. Tetapi siang ini aku memilih
lebih banyak diam. Tiada berteriak hoa ketika memecah belah angkuhnya batu. Bertasbih
lirih sebagai ganti, sebab semenjak lepas subuh hingga senja mendekap matahari
nanti, aku menahan diri.
Kasihku, bila suatu hari kau bertandang
pada satu negeri selepas padang aspal di balik belantara beton yang berbaris
bagai deret pegunungan dari yang megah hingga tinggi meninggi meraih langit
yang tak lagi sewarna dengan cangkang telur asin; ada istanaku megah di sana, singgahlah
sejenak!
Akan kujamu engkau dengan bergelas-gelas
susu hasil perah dari sapi-sapi yang setiap pagi hingga sore hari dibiarkan
liar di bukit begitu saja. Akan kusaji untukmu bebuahan segar yang dipetik di
kebun halaman belakang istana yang hamparnya berlintang-lintang. Hingga bilamana
tiba waktumu untuk pulang karena rindu kampung halaman, maka akan kuberi
sekantung keping-keping logam emas sebagai bekalmu selama perjalanan.
Berjanjilah datang lagi suatu nanti
dengan mengajak anak, orangtua, kerabat, sanak keluarga, tetangga atau siapa
saja, boleh sebanyak-banyaknya. Karena aku butuh kantong-kantong, aku butuh
mulut-mulut dan perut-perut lapar untuk kupenuhi dengan kenyang. Sebab di sini
aku selalu takut menjadi miskin dan lapar, takut menjadi papa atau yatim piatu.
Sayangku, selagi suaraku masih lantang
menggema, belum bergemetar terbata, selagi tubuh, rangka dan raga masih sehat,
kuat penuh daya, selagi kemudahan dan kemegahan yang menjelmakan ketakutan atas
kemiskinan dan kelaparan atau kesendirian sebatang kara hingga merasa pandang
tak sudi memandang dan rasa tak mau memakna, aku melakukan apa yang dikatakan
Baginda tentang keadaan bersedekah yang utama.
Bekasi, 29 Mei 2013
*Dikutip dari buku antologi Lembayung Senja (Ae Publishing, 2013), halaman 98-100
*Ilustrasi Gambar: Sunrise on the Steppes by David Burliuk, 1961
Share
*Ilustrasi Gambar: Sunrise on the Steppes by David Burliuk, 1961
0 komentar:
Posting Komentar