Selasa, 17 September 2013

Sedekah Utama



Kasihku, lihatlah tulang rahang yang menyangga kedua sisi pipiku, masih kuat bagai batu sehingga mampu memecah kacang hingga jagung, melembutkan gandum hingga tepung bahkan mengoyak daging ternak dari mamalia juga ungas ayam hingga burung. Tetapi rembang ini aku sedang sengaja tidak makan dan minum.

Kasihku, dengarlah suara yang masih lantang menggema, belum gemetar melemah terbata seperti bocah yang mengeja sebait prosa. Dan tulang belulang belum ada yang retak atau bahkan patah, masih kokoh selayak lelaki megalithikum berjari morton yang memecah batu dari gunung ke gunung hanya dengan mengenakan selembar bekas kulit hewan korban buruan sementara kejam dingin masih menghembuskan beku mendendam. Tetapi siang ini aku memilih lebih banyak diam. Tiada berteriak hoa ketika memecah belah angkuhnya batu. Bertasbih lirih sebagai ganti, sebab semenjak lepas subuh hingga senja mendekap matahari nanti, aku menahan diri.


Kasihku, bila suatu hari kau bertandang pada satu negeri selepas padang aspal di balik belantara beton yang berbaris bagai deret pegunungan dari yang megah hingga tinggi meninggi meraih langit yang tak lagi sewarna dengan cangkang telur asin; ada istanaku megah di sana, singgahlah sejenak!

Akan kujamu engkau dengan bergelas-gelas susu hasil perah dari sapi-sapi yang setiap pagi hingga sore hari dibiarkan liar di bukit begitu saja. Akan kusaji untukmu bebuahan segar yang dipetik di kebun halaman belakang istana yang hamparnya berlintang-lintang. Hingga bilamana tiba waktumu untuk pulang karena rindu kampung halaman, maka akan kuberi sekantung keping-keping logam emas sebagai bekalmu selama perjalanan.

Berjanjilah datang lagi suatu nanti dengan mengajak anak, orangtua, kerabat, sanak keluarga, tetangga atau siapa saja, boleh sebanyak-banyaknya. Karena aku butuh kantong-kantong, aku butuh mulut-mulut dan perut-perut lapar untuk kupenuhi dengan kenyang. Sebab di sini aku selalu takut menjadi miskin dan lapar, takut menjadi papa atau yatim piatu.

Sayangku, selagi suaraku masih lantang menggema, belum bergemetar terbata, selagi tubuh, rangka dan raga masih sehat, kuat penuh daya, selagi kemudahan dan kemegahan yang menjelmakan ketakutan atas kemiskinan dan kelaparan atau kesendirian sebatang kara hingga merasa pandang tak sudi memandang dan rasa tak mau memakna, aku melakukan apa yang dikatakan Baginda tentang keadaan bersedekah yang utama.


Bekasi, 29 Mei 2013

*Dikutip dari buku antologi Lembayung Senja (Ae Publishing, 2013), halaman 98-100
*Ilustrasi Gambar:  Sunrise on the Steppes by David Burliuk, 1961
Share

0 komentar:

Posting Komentar

Akar Akal. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts