Mereka keluar dari pabrik-pabrik.
Seketika gemuruh mesin sunyi
digantikan oleh teriak perjuangan nasib,
di jalan-jalan, desa, kota.
“Kami ingin Hidup.
Makan.
Pakaian.
Sehat. Juga Pendidikan.
Kami ingin Kelayakan.
Bukan Ketimpangan.
Bukan Kelaparan dan Ketertinggalan !!”
Aku pernah bersama mereka.
Dengan mengantongi
bayangan istri, tangisan anak. Keluarga terkasih.
Saat tak peduli terik matari.
Ketika nyali tak ciut dengan barisan polisi.
Aku pernah berada di jalan-jalan itu. Dengan kepalan tangan
ke langit,
berharap langit runtuh dan menurunkan malaikat-malaikatnya.
Menurunkan Ababil-Ababilnya.
Kami bukan komunis. Kami bukan ekstrimis.akar-akal.blogspot.com
Kami sama seperti
lainnya.
Rakyat yang dijanjikan perlindungan dan kebutuhan.
Kami relakan keringat dan gemertak tulang kami
untuk para borjuis egois.
Kami singkirkan waktu untuk menggendong anak dan bermesra
dengan istri, dialog dengan keluarga
untuk para borjuis egois.
Warna-warni bendera berkepak-kepak di udara,
dengan lambang berbeda.
Nama berbeda.
Nasib dan Perjuangan yang sama.
Suara Tuhan hadir pada teriakan mereka.
Tindakan Tuhan ada di aksi mereka.
Kemudian teringat sebait kata dari Sang Dewa “Wahai kaum
buruh; Bersatulah...!”
Eureka, Halaman 89-92
Share
0 komentar:
Posting Komentar