Wanita itu terebahkan,
pada ramah teduh tanah
Rubuhnya raga, tentramkan
jiwa telah
Ia ditenangkan,
agar rasa, damai aliri darah
Hilang daya yang mampu hadirkan
senyum pada wajah
“Mendekat.
Dekaplah erat. Lebih dekat.
Hembuskan
aku dongeng, kidung atau apa saja.
Kemudian
biarkan, aku, genggam tanganmu lekat.
Agar
jangan engkau jauh melangkah!”
Tak ada rasa ingin lelap
Suara, gerak, nafas; ia awasi dengan lekat
ia hiraukan senyap,
bersama sosok pria yang tak bergegas,
dengan berjuta untaian kalimat
Lonceng pada jam, berdentang
Kejutkan telinga, membuka mata
alam bawah sadar seketika hilang
lelap berbunga; “Ah, bukan sebuah nyata?”
“Adakah mitos selamanya menjadi
khayalan,
apa guna
dongeng jika hanya bual ciptaan,
lalu
kemana para pemimpi pergi menggantungkan harapan?”
Ia tak juga mengerti. Atau memang tak lagi
perduli,
bahwa
mimpi adalah ilusi,
harapan
tak bedanya dengan fantasi
“Dari
sini, waktu kini,
boleh jadi hanya mimpi
namun di
luar sana, suatu nanti, seseorang akan datang dan tak lagi pergi”
Sepasang matanya menerawang
menembus
langit-langit, menembus batas ruang,
menembus Cakrawala;
“Kita
akan tuliskan kata pada langit, juga di angkasa.
Dan tak
perlu kita jelaskan tentang sebutan dan juga rasa”
Kini lelap menjadi rindu,
sesuatu yang selalu ditunggu
karena mimpi terdapat di dalamnya,
satu hal yang lebih manis dari nyata
Hanya di sana jiwa ini tersentuh
hanya di sana samudera hati terselami
hanya di sana air mata keruh
damai, harapan, makna: terpahami
Ketika itu, resah musnah
Lenyap
dan dunia terasa cukup
Hidup; telah lengkap
Share
0 komentar:
Posting Komentar