Senin, 21 Januari 2013

Wanita Itu Terebahkan


Wanita itu terebahkan,
pada ramah teduh tanah
Rubuhnya raga, tentramkan
jiwa telah

Ia ditenangkan,
agar rasa, damai aliri darah
Hilang daya yang mampu hadirkan
senyum pada wajah

“Mendekat. Dekaplah erat. Lebih dekat.
Hembuskan aku dongeng, kidung atau apa saja.
Kemudian biarkan, aku, genggam tanganmu lekat.
Agar jangan engkau jauh melangkah!”


Tak ada rasa ingin lelap

Suara, gerak, nafas; ia awasi dengan lekat
ia hiraukan senyap,
bersama sosok pria yang tak bergegas,
dengan berjuta untaian kalimat

Lonceng pada jam, berdentang
Kejutkan telinga, membuka mata
alam bawah sadar seketika hilang
lelap berbunga; “Ah, bukan sebuah nyata?”

Adakah mitos selamanya menjadi khayalan,
apa guna dongeng jika hanya bual ciptaan,
lalu kemana para pemimpi pergi menggantungkan harapan?

Ia tak juga mengerti. Atau memang tak lagi perduli,
bahwa mimpi adalah ilusi,
harapan tak bedanya dengan fantasi

“Dari sini, waktu kini, boleh jadi hanya mimpi
namun di luar sana, suatu nanti, seseorang akan datang dan tak lagi pergi”

Sepasang matanya menerawang
menembus langit-langit, menembus batas ruang,
menembus Cakrawala;
“Kita akan tuliskan kata pada langit, juga di angkasa.
Dan tak perlu kita jelaskan tentang sebutan dan juga rasa”

Kini lelap menjadi rindu,
sesuatu yang selalu ditunggu
karena mimpi terdapat di dalamnya,
satu hal yang lebih manis dari nyata

Hanya di sana jiwa ini tersentuh
hanya di sana samudera hati terselami
hanya di sana air mata keruh
damai, harapan, makna: terpahami

Ketika itu, resah musnah
Lenyap
dan dunia terasa cukup
Hidup; telah lengkap Share

0 komentar:

Posting Komentar

Akar Akal. Diberdayakan oleh Blogger.

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts

Popular Posts