Kasihku, lihatlah tulang rahang yang menyangga kedua sisi pipiku, masih kuat bagai batu sehingga mampu memecah kacang hingga jagung, melembutkan gandum hingga tepung bahkan mengoyak daging ternak dari mamalia juga ungas ayam hingga burung. Tetapi rembang ini aku sedang sengaja tidak makan dan minum.
Kasihku, dengarlah suara yang masih
lantang menggema, belum gemetar melemah terbata seperti bocah yang mengeja sebait
prosa. Dan tulang belulang belum ada yang retak atau bahkan patah, masih kokoh
selayak lelaki megalithikum berjari morton yang memecah batu dari gunung ke
gunung hanya dengan mengenakan selembar bekas kulit hewan korban buruan sementara
kejam dingin masih menghembuskan beku mendendam. Tetapi siang ini aku memilih
lebih banyak diam. Tiada berteriak hoa ketika memecah belah angkuhnya batu. Bertasbih
lirih sebagai ganti, sebab semenjak lepas subuh hingga senja mendekap matahari
nanti, aku menahan diri.